Catatan Akhir Tahun Kerangka Hukum Pemilu 2024 Tak Jauh Beda dengan Aturan Pemilu 2019

IMG 20220104 WA0103

Oleh: D.Dj. Kliwantoro

Kerangka hukum Pemilu 2024 tak jauh beda dengan aturan Pemilu 2019
Semarang (ANTARA) – Sampai penghujung tahun 2021, kerangka hukum pemilihan umum (pemilu) tidak mengalami perubahan. Jika tidak ada perubahan hingga 2024, aturan main megapesta demokrasi ini tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 2019.

Akan tetapi, peluang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih ada seiring dengan dinamika politik menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, dan pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota.

Semula pembentuk undang-undang, DPR RI dan pemerintah, bermaksud menyatukan regulasi pemilihan tersebut. Namun, belakangan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum ditarik dari Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2021.

Dengan demikian, UU No. 7/2017 tentang Pemilu tetap berlaku. Begitu pula UU No. 1/2015 yang telah mengalami tiga kali perubahan (UU No. 8/2015, UU No. 10/2016, dan terakhir UU No. 6/2020) bakal menjadi landasan hukum pelaksanaan Pilkada 2024.

Nama undang-undang ini relatif panjang, atau sering disingkat UU Pilkada. Undang-undang ini berlabel: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Namun, kedua undang-undang itu urung direvisi. Padahal, berdasarkan draf RUU Pemilu (pemutakhiran November 2020), rancangan undang-undang ini menyatukan sekaligus merevisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 1/2015 beserta tiga perubahannya.

Tidak hanya UU Pemilu dan UU Pilkada, pembuat undang-undang juga tidak melakukan revisi kembali UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Parpol ini baru sekali mengalami revisi melalui UU No. 2/2011.

Dinamika Politik

Dinamika politik sepanjang tahun 2021 diwarnai pelbagai wacana, antara lain amendemen UUD NRI Tahun 1945 yang timbulkan polemik, mulai periodisasi masa jabatan presiden, pemunduran pemilu, penghapusan ambang batas pencalonan presiden, hingga calon presiden perseorangan.

Pada hari Selasa, 4 Mei 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan uji materi verifikasi parpol peserta pemilu melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Putusan ini mewarnai perdebatan meski tidak seseru ambang batas pencalonan presiden maupun ambang batas parlemen.

Dalam putusan MK itu, KPU tetap melakukan verifikasi secara administrasi terhadap sembilan partai politik (parpol) yang lolos “parliamentary threshold” (ambang batas parlemen). Namun, parpol yang memiliki kursi di DPR ini tidak diverifikasi secara faktual.

Sementara itu, tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen pada pemilu lalu dan partai baru yang sudah kantongi surat keputusan (SK) pengesahan badan hukum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) diverifikasi secara administrasi dan faktual.

Sejumlah partai baru itu, antara lain Partai Gelombang Rakyat (Gelora), Partai Ummat, Partai Nusantara, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Partai Emas), Partai Indonesia Terang (PIT), dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).

Berikutnya, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Masyumi, Partai Usaha Kecil Menengah Indonesia ( Partai UKM Indonesia ), dan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima).

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini melihat ada pertimbangan kekinian, yakni memberikan kesamaan kesempatan dalam mengambil bagian atau berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya kesamaan kesempatan dalam berkontribusi di bidang politik.

Baca juga: Perludem dorong parpol pastikan peningkatan keterwakilan perempuan

Dengan adanya fakta-fakta di lapangan, kata Titi Anggraini, bahwa biaya negara untuk melakukan verifikasi partai politik tidak murah, apalagi dalam situasi dan kondisi ekonomi negara saat ini yang harus membiayai penanggulangan pandemi COVID-19.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini melihat dari perspektif keadilan, yaitu memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda.

Pada tahun 2021, uji materi keserentakan pemilu terbaru ditolak MK melalui Putusan No. 16/PUU-XIX/2021. Ditegaskan oleh MK harus dilakukan perbaikan manajemen pemilu melalui tindak lanjut Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 (enam model keserentakan pemilu).

Berkenaan dengan hal tersebut, dengan telah makin dekatnya pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024 maka melalui putusan ini Mahkamah menegaskan agar pembentuk UU dan penyelenggara pemilihan umum segera menindaklanjuti putusan MK a quo (tersebut).

Team Redaksi
Author: Team Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

" Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini "