Revisi UU Penyiaran, Antara Regulasi dan Kebebasan Berekspresi, Revisi UU Penyiaran harus dihentikan dan drafnya disusun kembali dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi profesi jurnalis dan komunitas pers.
Jakarta, Indonesia jurnalis.com –Rancangan Revisi Undang-Undang Penyiaran menjadi topik hangat yang banyak dibicarakan belakangan ini. Beberapa pasal dalam draft revisi UU tersebut dianggap mengancam kebebasan pers dalam menyebarkan informasi. Pekerja pers dan content creator menyuarakan ketidaksetujuan mereka melalui demo dan media sosial terhadap revisi UU yang disusun oleh DPR. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa revisi UU tersebut dianggap kontroversial?
Revisi UU ini dirancang untuk memperbarui undang-undang yang mengatur sektor penyiaran di Indonesia, namun memicu kontroversi terkait keseimbangan antara regulasi dan kebebasan pers. Pasal-pasal yang dianggap membatasi kebebasan pers dan jurnalisme meliputi:
Pasal 34 F ayat (2) huruf E yang mewajibkan penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya untuk memverifikasi konten siaran mereka ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Penyelenggara termasuk kreator yang mengunggah konten di YouTube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya.
Pasal 50 B ayat (2) huruf C yang melarang “Penayangan Eksklusif Jurnalistik Investigasi”. Larangan ini dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan dan kemerdekaan pers.
Pasal 50 B ayat (2) huruf K yang mengatur larangan terkait pencemaran nama baik dan siaran yang mengandung penghinaan. Pasal ini dianggap sebagai pasal karet yang dapat membatasi kebebasan pers. Pasal tersebut berbunyi: “Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.”
Selain ketiga pasal tersebut, masih ada banyak pasal lain yang dianggap kontroversial dan perlu dikaji lebih dalam. Revisi UU Penyiaran ini dianggap mengancam kebebasan content creator untuk berkarya dan pers untuk menyampaikan informasi yang faktual. Apakah ini merupakan salah satu agenda pemerintah untuk membungkam pers atau hanya sekadar filter informasi bagi masyarakat?
Antara Regulasi dan Kebebasan
Jika dilihat dari kedua sisi antara regulasi dan kebebasan pers, hal ini mencerminkan dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, penting untuk mengakui bahwa regulasi dalam penyiaran memiliki peran penting. Penyiaran adalah sarana utama untuk menyampaikan informasi kepada publik, sehingga kontennya harus memenuhi standar tertentu. Regulasi yang ketat diperlukan untuk memastikan informasi yang disiarkan dapat dipertanggungjawabkan, tidak memicu kebencian, diskriminasi, atau kekerasan, serta menjaga moralitas dan budaya bangsa. Dalam hal ini, regulasi dapat berfungsi sebagai pelindung kepentingan publik.
Di sisi lain, kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi. Tanpa kebebasan ini, media tidak dapat menjalankan fungsi pengawasan (watchdog) terhadap pemerintah dan institusi lainnya. Pers yang bebas adalah mekanisme penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan serta menyuarakan berbagai pandangan dalam masyarakat. Pembatasan yang berlebihan terhadap kebebasan pers dapat mengarah pada otoritarianisme dan pengekangan terhadap hak-hak dasar warga negara.
Pembahasan revisi UU Penyiaran masih berlangsung dan diharapkan selesai sebelum 30 September 2024. Namun, berbagai organisasi jurnalis dan komunitas pers menuntut agar proses ini dihentikan dan rancangan ini tidak disahkan menjadi undang-undang.
Kritik Terhadap Revisi UU Penyiaran
Kritik terhadap revisi UU Penyiaran tidak hanya berfokus pada kebebasan pers, tetapi juga pada kewenangan yang diberikan kepada KPI. KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, yang berpotensi mengekang keragaman konten dan mengurangi kualitas informasi yang disajikan kepada masyarakat.