PEMATANG SIANTAR – Tokoh Pemuda Rikkot Damanik Prihatin Ada Pihak yang Klaim Sihaporas Sebagai Tanah Adat di Kabupaten Simalungun.
Munculnya sekelompok warga masyarakat di Sihaporas, Kabupaten Simalungun yang mengklaim bahwa mereka memiliki tanah adat di Sihaporas mendapat kritikan sekaligus penolakan dari seorang Tokoh Pemuda, Rikkot Damanik.
” Tokoh Pemuda yang mengaku cucu dari Op Parmata Manunggal asal Sipolha Kabupaten Simalungun itu mengatakan, sangat tidak menerima adanya pihak yang mengklaim bahwa di Kabupaten Simalungun ada yang namanya tanah adat.
” Kepada wartawan, Rabu (17/08/22) dia mengatakan sangat sependapat dengan Ketua Partuha Maujana Simalungun (PMS) dr Sarmedi Purba yang sebelumnya telah menegaskan, tidak ada istilah tanah adat di Simalungun, apalagi yang mengklaim bukan dari etnis Simalungun.
” Saya cucu dari Opung Parmata Manunggal yang tugunya berada di Sipolha. Jadi saya sedikit banyaknya tahu sejarah dan tahu status tanah di Sipolha sebagai kampung leluhur saya. tidak ada yang namanya tanah adat di daerah leluhur saya itu,”tegas, Rikkot Damanik.
Menanggapi adanya sekelompok warga Ambarita yang mengklaim memiliki tanah adat di Sihaporas, hal itu sangat tidak diterima Rikkot. “Intinya, tak ada yang namanya tanah adat di Simalungun termasuk di Sihaporas. Kita tahu sejarah asal usul tanah itu, karena saya adalah generasi atau keturunan, atau cucu dari marga Damanik di Sipolha” tegasnya lagi.
Dia juga sangat sependapat dengan pernyataan dr Sarmedi Purba, dari sejarahnya, atau sejak zaman kerajaan di Simalungun, yang namnya adat dan budaya langsung diatur oleh Raja. Sedangkan untuk yang memenej pemerintahan dan kewilayahan, langsung dipimpin oleh ‘Partuanon’ atau tuan. Sedangkan yang namanya tuan pada masa itu merupakan darah biru atau turunan ningrat atau kerabat dekat dari Raja.
Dalam sejarahnya, pada zaman itu yang namanya lahan atau tanah menjadi mutlak dikuasai atau dimilki oleh Raja. Sedangkan pihak lain hanya diberikan hak untuk mengusahai, dan tidak dikenal yang namanya tanah adat.
Namun diakui, pada masa kerajaan itu banyak pendatang yang merantau datang ke Simalungun. Setelah berumah tangga dengan etnis atau suku Simalungun, kemudian mereka mendapatkan hak dari pihak kerajaan untuk mengelola lahan, hingga berlanjut dari generasi ke generasi sampai sekarang, namun bukan berarti tanah yang diusahai itu dapat berubah status menjadi tanah adat.
Bahkan, sambung Rikkot Damanik, mengutip keterangan pengacara Laurensius Sidauruk., SH, ketika tahun lalu ada sekelompok mengaku perwakilan marga Ambarita mencoba mengajukan permohonan agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang luasnya sekitar 1.800 hektar di Sihaporas, ini tidak dipenuhi pihak BPN.
(Surya Damanik)