Belanja iklan nasional yang mencapai seratus triliunan rupiah lebih setiap tahun dibiarkan saja oleh Dewan Pers untuk dinikmati hanya oleh segelintir konglomerat media.
Dewan Pers justeru sibuk membuat aturan legalisasi kerja sama media dengan pemerintah daerah dengan Surat Edarannya yang ditujukan kepada pemerintah agar kerja sama media dengan pemerintah harus media yang terverifikasi Dewan Pers.
Tidak sedikitpun menyentuh upaya belanja iklan nasional ikut dinikmati media lokal yang jumlahnya mencapai puluhah ribu.
Dewan Pers bukannya sibuk mencari solusi agar belanja iklan bisa terserap atau terdistribusi ke daerah-daerah, justru disibukan dengan menjalankan propaganda negatif terhadap media-media yang belum terverifikasi sebagai media abal-abal dan tidak layak bekerja sama dengan pemerintah.
Tak heran, Kementrian Kominfo dengan leluasanya membuat petunjuk tekhnis bagi Dinas Kominfo se Indonesia agar pemerintah daerah menetapkan salah satu persyaratan kerja sama dengan media wajib perusahaannya terverifikasi Dewan Pers.
Kondisi ini sesungguhnya memalukan dan merusak fungsi sosial kontrol pers terhadap pemerintah.
Dewan Pers dan Kemenkominfo telah dengan sadar dan terang benderang melegalkan media ‘menjual’ idealismenya dengan menetapkan kebijakan yang dianggap sah melalui keberlakuan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers dalam persyaratan kerja sama media dengan Pemerintah.
Ironis, Tapi ini fakta bukan hoax.
Media lokal terjebak dalam kondisi ini karena tawaran belanja iklan tidak ada. Tidak ada pilihan lain selain “maaf” menjual idealisme pers dengan mengikat kontrak kerja sama dengan pemerintah demi melanjutkan operasional media.
Dewan Pers seharusnya wajib menjaga independensi media dan wartawan agar tidak terkontaminasi kepentingan pemerintah.
Caranya dengan memperjuangkan sumber pemasukan media dari belanja iklan nasional terdsitribusi ke seluruh daerah.
Pada kenyataannya lebih dari 100 triliun rupiah belanja iklan nasional setiap tahun tidak ikut dinikmari media lokal dan hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat media yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh jari tangan manusia.
Pada poin ke 5 penguatan peran Dewan Pers , salah satunya diatur tentang standar gaji wartawan dan karyawan pers.
Sayangnya, sampai sekarang tidak ada penetapannya dari Dewan Pers berapa standar gaji yang benar dan layak bagi wartawan.
Wartawan media mainstream sekalipun terbukti digaji pas-pasan tapi Dewan Pers tidak melakukan apa-apa.
Padahal di dalam Pasal 9 UU Pers mengatur kewajiban perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pada prakteknya, masih ada wartawan yang bekerja di media nasional yang penggajiannya berdasarkan jumlah berita yang naik tayang di medianya. Dan fakta umum yang terjadi adalah hampir sebagian besar media lokal tidak menggaji wartawannya.
Apakah ada upaya Dewan Pers mengatasi persoalan-persoalan di atas sebagai langkah mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional ?
Inilah fakta-fakta sesungguhnya bahwa Dewan Pers telah gagal meralisasikan mandat dan amanat serta fungsi yang diberikan oleh ke 29 Organisasi Pers pada tahun 2006 lalu untuk penguatan peran Dewan Pers.
Bisa saja seluruh organisasi pers yang berbadan hukum di Indonesia, baik yang menjadi pelaku pemberi mandat penguatan kepada Dewan Pers, maupun organisasi pers yang ada sekarang dan berbadan hukum, mencabut mandat Penguatan Terhadap Peran Dewan Pers. Namun solusinya bukan seperti itu.
Sebagai wartawan yang memiliki pengalaman dari tingkat paling bawah yaitu reporter, penulis melihat kehidupan pers nasional tidak menuju pada peningkatan sejak Undang-Undang Pers tahun 1999 diberlakukan.
Kemerdekaan Pers Indonesia makin terpuruk. Indeks kemerdekaan pers menurut lembaga riset internasional Reporter Without Borders, bahkan pernah menempatkan Indonesia berada pada level bawah.
Media nasional nyaris tak terlihat dalam melakukan sosial kontrol sampai pada kehidapan masyarakat di level bawah.
Potret kemiskinan rakyat di berbagai daerah masih terjadi namun media seolah diam membisu.
Pemandangan warga hidup di atas gerobak dan di emperan toko, serta di kolong-kolong jembatan masih terjadi di mana-mana. Padahal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 34 berbunyi : “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Media mainstream hanya sibuk dengan konten berita politik pemerintahan yang itu-itu saja.
Informasi tentang pengentasan kemiskinan nyaris tak tersetuh karena tidak menarik dibaca dan ditonton. Negara kaya raya tapi masih banyak rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Negara abai tapi pers diam saja.
Fakir miskin dan anak-anak terlantar belum seluruhnya dipelihara oleh negara.
Pola pengentasan masalah di negara ini pun bak pemadam kebakaran. Ketika ramai diberitakan media, barulah pemerintah turun tangan menangani masalahnya.
Presiden Joko Widodo seolah bekerja sendirian dalam mengatasi persoalan di masyarakat.
Media tidak memberi informasi yang konkrit di level paling bawah agar penguasa jadi tahu penyelesaiannya di level atas.
Padahal rakyat kecil paling butuh nasibnya diekspos agar dilirik pemerintah dan pemangku kepentingan.
Kembali pada persoalan sertifikasi kompetensi yang informasinya bergulir hangat dua hari terakhir ini. Muncul tangapan dan reaksi Dewan Pers, yang bagi penulis sesungguhnya itu menjadi harapan baru bagi masa depan kompetensi wartawan nasional.
Intinya Dewan Pers sudah sepakat pelaksanaan sertifikasi kompetensi diletakan pada jalur yang benar yakni melalui Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Ada hal yang menarik disimak dari klarifikasi Ketua Dewan Pers Muh. Nuh bahwa pengajuan lisensi LSP ke BNSP harus ada rekomendasi dari Dewan Pers.
Di satu sisi informasi ini merupakan angin segar bagi pers tanah air bahwa Ketua Dewan Pers Moh. Nuh sudah mengakui bahwa pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi wajib melalui LSP berlisensi BNSP dan memperoleh Rekomendasi dari Dewan Pers.
Keterangan itu pun harus diuji beradasarkan peraturan Badan Nasional Sertifikasi Profesi menyangkut syarat pendirian LSP dan konfirmasi langsung ke Ketua BNSP.
Sampai hari ini belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Ketua BNSP kepada publik terkait persyaratan LSP di bidang pers.
Dari sistem sertifikasi kompetensi nasional yang berlaku selama ini mengacu pada PP Nomor 10 Tahun 2018 tentang BNSP. Jadi aturan dan perangkat hukumnya jelas.
Apapun keputusan pemerintah wajib hukumnya bagi semua LSP termasuk LSP Pers Indonesia mentaatinya.
Dewan Pers sebagai lembaga independen sebaiknya legowo menerima masukan dan terbuka menerima kenyataan jika melakukan kekeliruan. Tidak perlu marah atau malu.
Kelompok pers yang dilabeli abal-abal pun selama ini tetap menjalankan aktifitas meski dipotret abal-abal.
Nah jika sekarang label abal-abal itu berusaha dilepas, maka kepentingan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang didirkan untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional harusnya berterima kasih bukannya kebakaran jenggot.
Tujuan utama dari pendirian LSP Pers Indonesia adalah untuk meletakan pelaksanaan sertifikasi kompetensi wartawan pada jalur yang benar agar tidak melanggar undang-undang dan berpotensi dipidana.
Publik akan menilai kenegarawan seorang Muhammad Nuh pada persoalan ini. Situasi ini menjadi ujian bagi Muh Nuh dan para anggota Dewan Pers, apakah kompeten sebagai Anggota Dewan Pers atau tidak.
Jika ada kelompok yang selama ini dituding abal-abal dan kemudian membuktikan bahwa apa yang dituduhkan selama ini tidak benar dan justeru membuka mata semua pihak yang selama ini mempraktekan sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang dan melangar hukum, perlukah dilawan dengan cara-cara yang melanggar kode etik jurnalistik ?
Pada prinsipnya penulis pernah melewati menjadi reporter yang gajinya pas-pasan, sampai berada pada posisi tertinggi di keredaksian yakni pimpinan redaksi di sebuah harian lokal dan televisi lokal.
Lahir dan besar dari keluarga wartawan, menjadi kebanggaan tersendiri.
Penulis membuat gerakan kemerdekaan pers di Jakarta bersama sejumlah pimpinan organisasi pers, kemudian membentuk Dewan Pers Indonesia sebagai wujud implementasi upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan peningkatan kehidupan pers nasional.
Dewan Pers Indonesia berusaha mengisi kekosongan yang ada dengan membentuk Dewan Pers Indonesia Perwakilan Provinsi dengan tujuan agar semua pengaduan masyarakat terkait sengketa pers bisa dilayani di tingkat daerah namun masih terganjal aturan dan sistem.
Selanjutnya, pendataan media terhadap perusahaan pers yang dilakukan Dewan Pers Indonesia bertujuan untuk mempermudah warga negara Indonesia mendirikan media.
Untuk meningkatkan kehidupan pers nasional atau peningkatan kesejahteraan pers, Dewan Pers Indonesia berusaha menyusun Draft APBD tentang belanja iklan nasional agar terdistribusi hingga ke daerah-daerah.
Dan dengan cara ini media lokal akan sejahtera dan kerja sama media dengan pemerintah daerah tidak perlu lagi dilakukan demi menjaga indpendensi pers.
Jika perusahaan pers bisa mendapatkan porsi belanja iklan maka diyakini wartawan makin sejahtera dan independen.
Sumatera Utara menjadi target pertama pembahsan ranperda belanja iklan ini karena Ketua DPRD dan pemeritah setempat memahami potensi ini.
Pilihan dan upaya ini yang sedang dilakukan DPI karena Dewan Pers tidak mampu menjalankan peran itu.
Bicara kemerdekaan pers jika tidak dibarengi dengan upaya menciptakan pendapatan perusahaan maka semua pasti akan sia-sia.
Income perusahaan media sudah pasti sebagian besar diperoleh dari jasa menyediakan sarana promosi produk melalui iklan di media.
Hal inilah yang harus diperjuangkan.
Bukannya DP sibuk urusin kerja sama pemerintah dengan media yang nilainya sangat kecil sekali dan idealisme pers jadi taruhan
Dampak rendahnya kesejahteraan wartawan dari segi kompetensi, misalnya wartawan dengan modal 3 buah sertifikat kompetensi sekalipun jika tidak sejahtera, maka pada gilirannya akan ikut menerima amplop saat menjalankan profesinya.
Jika kompetensi seseorang turut dipengaruhi tingkat kesejahteraan maka tidak bisa tidak, upaya tersebut harus diperjuangkan.
Apalah arti semua wartawan di UKW jika tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan atau kemampuan finasial media dan wartawan, maka ukuran kompetensi wartawannya menjadi tidak berkompeten.
Fakta ril di lapangan ada ratusan wartawan, dan mungkin ada ribuan, yang bersertifikat UKW tapi tidak menerima gaji dari media tempatnya bekerja.
Dewan Pers harus mampu menjelaskan ke publik tentang jaminan kompetensinya apakah bisa terlaksana di lapangan jika kondisi kesejahteraan wartawan dan media masih seperti ini.
Narasumber :
Heintje Mandagie