
Yusril menambahkan, jika seseorang dicegah keluar negeri untuk pertama kali selama enam bulan, maka pencegahan tersebut hanya dapat diperpanjang satu kali selama enam bulan lagi. “Jadi, kalau orang itu ketika keluar negeri katakanlah yang pertama selama enam bulan, kalau pejabat itu mencegah maksimum enam bulan, hanya enam bulan lagi yang diperbolehkan. Pencegahan tidak boleh lebih dari dua kali dan tidak boleh melebihi total 12 bulan,” tegasnya.
Dalam kasus Ike Farida, pencegahan ini telah melampaui batas waktu yang diatur oleh undang-undang. Pencegahan pertama yang dilakukan selama enam bulan telah diperpanjang, dan sekarang memasuki masa pencegahan kedua. Menurut Yusril, ini sudah melanggar ketentuan yang ada. “Ketika orang dicegah keluar negeri dengan alasan yang sama, itu dianggap sebagai pencegahan kedua, bukan pencegahan baru. Kecuali jika alasan pencegahan berubah, maka itu dianggap sebagai kasus baru,” tambah Yusril.
Yusril juga menegaskan adanya sanksi jika instansi terkait melanggar aturan tersebut. “Kalau instansi itu melanggar aturan enam bulan dan 12 bulan tadi, tentu ada sanksi yang harus diberikan,” tutup Yusril.
Melirik pada perkara yang terjadi, Dr. Ike hanyalah konsumen yang beritikad baik, dibuktikan dengan pembayaran lunas unit Apartemen Casa Grande. Namun, PT Elite Prima Hutama (EPH) enggan memberikan unit tersebut dengan alasan bahwa suami Dr. Ike berstatus WNA. Selaku kuasa hukum, Kamaruddin Simanjuntak, menjelaskan secara tegas bahwa Dr. Ike adalah pemilik sah properti Apartemen Casa Grande yang menang sesuai dengan Putusan Peninjauan Kembali No. 53/Pdt/2021, di mana telah dilakukan eksekusi permintaan surat akta jual beli apartemen tersebut. “Sebagai pemilik yang sah, seharusnya bukan hanya kuncinya saja yang diberikan kepada kliennya. Oleh karena itu, kami akan gugat jika kemudian PT EPH tidak memberikannya.” tegasnya (27/10/2023).
Mengutip pernyataan Putri Mega Citakhayana dan rekannya di hadapan media, dirinya merasa heran dan bingung kenapa Dr. Ike bisa dijadikan tersangka. Pasalnya, kliennya dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya (PMJ) atas dasar sumpah palsu dan pemalsuan akta otentik (10/12/2022). “Sebagai praktisi hukum, saya melihat bahwa ini semua tidak masuk akal karena Dr. Ike tidak pernah bersumpah terkait novum tersebut. Dr. Ike hanya mengajukan PK saja,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia menilai bahwa Dr. Ike telah sangat dirugikan. Terlebih, selama ini kliennya telah sangat kooperatif dalam memberikan keterangan kepada penyidik. Pada dasarnya, perkara ini perlu menjadi perhatian publik karena menyangkut hak asasi seseorang untuk berpergian ke luar negeri dan bagaimana penegakan hukum keimigrasian diterapkan di Indonesia.**
(NK)