“Ada dua langkah yang perlu diperkuat oleh pemerintah. Pertama, mencegah perdagangan manusia dengan menekan keberangkatan pekerja migran non-prosedural. Kedua, memperkuat kerja sama antar-kementerian, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian P2MI, dan Kementerian Luar Negeri, agar perlindungan pekerja di luar negeri lebih optimal,” jelasnya.
Ronny juga menyinggung peran Direktorat Jenderal Imigrasi dalam menyaring calon pekerja migran sebelum mereka berangkat ke luar negeri. Ia menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan paspor, namun penerbitannya tetap harus mempertimbangkan aspek hukum.
“Paspor adalah hak warga negara, tetapi berbeda dengan KTP. Jika ada masalah hukum, seseorang bisa dicegah keluar negeri, misalnya karena memiliki tunggakan pajak atau terjerat kasus hukum. Ini penting untuk memastikan keberangkatan pekerja migran sesuai prosedur dan tidak dimanfaatkan oleh jaringan ilegal,” terangnya.
Ia juga membagikan pengalaman mengenai maraknya penipuan terhadap calon pekerja migran yang dijanjikan gaji tinggi di luar negeri, tetapi akhirnya justru dieksploitasi.
“Belum lama ini saya mendapat informasi ada lima pekerja dari Sulawesi Utara yang tergiur tawaran kerja dengan gaji besar, namun justru diberangkatkan ke negara-negara seperti Kamboja, Myanmar, dan Thailand, yang bukan merupakan negara tujuan resmi pekerja migran Indonesia,” ungkapnya
Diskusi yang berlangsung di Gedung Juang ini pun diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih dalam bagi masyarakat terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri serta pentingnya regulasi yang lebih ketat untuk mencegah perdagangan manusia.**