Lebih lanjut, Rivai menyebut tantangan terbesar dalam tata kelola air nasional adalah pencemaran, keberlanjutan, hingga penyediaan akses air minum yang layak. Ia menyoroti disparitas antarwilayah, di mana Jakarta tercatat memiliki akses air minum layak tertinggi pada 2024, sedangkan Papua justru memiliki akses terendah.
“Kita sering berpikir Papua punya air pegunungan yang melimpah, tetapi faktanya justru mereka menghadapi keterbatasan akses air minum layak. Sebaliknya, di Jakarta aksesnya lebih baik,” ujarnya.
Menurutnya, sebagian besar air minum masyarakat di Indonesia saat ini tidak langsung berasal dari pegunungan, melainkan dari air tanah dan air permukaan yang dikelola oleh perusahaan.
Rivai juga menyinggung potensi besar sumber daya air Indonesia di kawasan Asia Tenggara yang mencapai sekitar 2018 kilometer kubik. Namun, kualitas sanitasi dan air minum di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara lain.
“Potensi kita sangat besar, tapi kualitas sanitasi dan air minum justru paling rendah. Ini yang harus kita perbaiki bersama,” tutupnya.**
(Ls)