BPOM Intensifkan Pengawasan Pangan Selama Ramadan dan Idul Fitri 1446 Hijriah. BPOM imbau pelaku usaha tingkatkan kepatuhan penerapan cara peredaran pangan olahan yang Baik.
Jakarta, Indonesia jurnalis – “Pada intensifikasi pengawasan (inwas) pangan jelang Ramadan dan Idulfitri 1446 Hijriah/2025 ini, hingga tahap 4 atau mulai 24 Februari hingga 19 Maret 2025, BPOM telah melakukan pemeriksaan pada total 1.190 sarana peredaran pangan olahan di seluruh wilayah Indonesia,” ungkap Kepala BPOM Taruna Ikrar pada konferensi pers di Kantor BPOM, Jumat (21/3/2025). Kegiatan ini didominasi inwas yang dilakukan pada sarana ritel modern sebanyak hampir 50,3% atau 598 sarana kemudian diikuti 364 (30,6%) sarana ritel tradisional, 214 (18,6%) gudang distributor, 12 (1%) gudang importir, dan 2 (0,2%) gudang e-commerce.

Dari 1.190 sarana tersebut, mayoritas sarana telah memenuhi ketentuan (MK) dengan rincian sebanyak 814 atau 68,4% sarana MK dan 376 atau 31,6% sarana tidak memenuhi ketentuan (TMK). Sarana TMK ini terdiri dari 230 (38,4%) sarana ritel modern, 126 (34,6%) sarana ritel tradisional, 17 (7,9%) gudang distributor, 2 gudang importir, dan 1 gudang e-commerce.
Pengawasan ini dilakukan oleh 76 unit pelaksana teknis (UPT) BPOM yang tersebar di seluruh Indonesia bersama lintas sektor terkait, sebagai komitmen BPOM di tengah kebijakan efisiensi anggaran. Strategi pengawasan berbasis risiko ini menyasar pengawasan pada sarana peredaran yang memiliki rekam jejak kurang baik, termasuk gudang marketplace sesuai tren belanja masyarakat yang banyak dilakukan melalui online. Kegiatan pengawasan berfokus pada produk pangan olahan terkemas yang TMK, yaitu tanpa izin edar (TIE)/ilegal, kedaluwarsa, dan rusak.
“Dari hasil pengawasan bersama lintas sektor, kami menemukan 376 sarana yang menjual produk TMK berupa pangan olahan TIE, kedaluwarsa, dan rusak, dengan jumlah total temuan pangan TMK sebanyak 35.534 pieces. Nilai temuan di sarana peredaran offline ini diperkirakan lebih dari 500 juta rupiah,” jelas Kepala BPOM.
Jenis temuan terbesar merupakan pangan olahan TIE sebesar 55,7% (19.795 pieces), kedaluwarsa sebesar 40,2% (14.300 pieces), dan 4,1% pangan rusak (1.439 pieces). Pangan olahan TIE banyak ditemukan di wilayah kerja UPT BPOM di Jakarta, Batam, Tarakan, Balikpapan dan Pontianak. Jenis pangan olahan TIE di ritel wilayah Jakarta mayoritas berasal dari negara Tiongkok/China seperti biskuit dan buah kering/manisan buah serta dari negara Arab Saudi seperti bumbu, kembang gula/permen, dan BTP.
Kepala BPOM mengungkapkan bahwa produk pangan olahan TIE lainnya ditemukan di wilayah perbatasan seperti Batam, Tarakan, Balikpapan, dan Pontianak. Produk paling banyak ditengarai berasal dari Malaysia berupa minuman serbuk, minuman berperisa, kembang gula/permen. “Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat jalur ilegal pada wilayah ini dan dibutuhkan pengawasan lintas sektor yang lebih intensif,” ujarnya.
Kemudian temuan terbesar produk kedaluwarsa paling banyak ditemukan di wilayah kerja UPT BPOM di Manokwari sebanyak 16,13% dari 14.300 pcs temuan total kedaluwarsa, diikuti Kabupaten Bungo (Jambi) (14,25%), Kupang (12,83%), Bandung (6,64%), dan Palangkaraya (5,99%). Jenis pangan yang banyak ditemukan antara lain mi instan, minuman serbuk berperisa, bumbu penyedap rasa, bahan tambahan pangan (BTP) dan susu ultra high temperatur (UHT).
Pangan olahan rusak banyak ditemukan di wilayah kerja UPT BPOM di Mataram, Kabupaten Bungo (Jambi), Mamuju, Surabaya, dan Merauke. Produk pangan rusak ini berupa berupa krimer kental manis, yogurt/minuman yogurt, olahan perikanan dalam kaleng, susu UHT dan susu kental manis.
Banyaknya produk TIE dan kedaluwarsa yang ditemukan menunjukkan bahwa pengawasan di sarana peredaran perlu diperketat lagi. Meskipun jumlah produk rusak lebih sedikit dibandingkan produk TIE dan kedaluwarsa, namun tetap diperlukan perhatian untuk menjaga kualitas dan keamanan pangan di peredaran.
Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebutkan bahwa banyaknya produk rusak dan kedaluwarsa yang ditemukan di wilayah Indonesia timur dapat terjadi karena panjangnya rantai distribusi pangan di wilayah tersebut. Sistem penyimpanan dan pengecekan di gudang yang tidak memenuhi ketentuan juga dapat menyebabkan produk mudah rusak dan produk tertahan lama sehingga kedaluwarsa. “Kepatuhan pelaku usaha terhadap regulasi dan pemenuhan cara peredaran pangan olahan yang baik harus lebih ditingkatkan ke depannya,” lanjut Taruna Ikrar.