Dr. Budiman juga menyinggung gaya kepemimpinan yang ia nilai terlalu otoriter dan tidak kolaboratif. Ia mengibaratkan kondisi tersebut seperti “panglima yang membentuk pasukannya sendiri”.
“Kalau kita melihat ujarannya sehari-hari, semuanya sudah berisi kebencian terhadap dokter. Dokter dianggap sebagai anak buah yang harus tunduk, bukan sebagai mitra yang dibina. Alih-alih menjalankan prinsip Tut Wuri Handayani, dia malah memilih berjalan sendiri,” kritiknya.
Dalam orasinya, dr. Budiman juga menyoroti pentingnya pertahanan nasional di bidang kesehatan, merujuk pada keberhasilan bangsa Indonesia melewati masa pandemi COVID-19 berkat sinergi berbagai pihak.
“Perjuangan melawan COVID-19 adalah bukti bahwa negara ini bisa selamat karena adanya kerja sama yang baik antara pemerintah, TNI-Polri, swasta, media, dan rakyat. Tapi sekarang, para dokter seolah ditinggalkan, tidak didengar, dianggap ada tapi juga tidak ada,” ujarnya dengan tegas.
Ia pun mengajak semua pihak, termasuk mahasiswa kedokteran, mahasiswa kesehatan lainnya, keluarga, dan pasien, untuk ikut bersuara menyikapi situasi ini.
“Mari kita perluas gerakan ini. Ajak mahasiswa kesehatan lainnya, keluarga kita, bahkan para pasien yang memberikan simpati kepada perjuangan para dokter. Ini bukan hanya tentang profesi kami, ini tentang masa depan kesehatan bangsa,” tutup dr. Budiman dalam orasinya.**
(Report Ls)