Tak hanya PWI, perwakilan AJI dan AVISI juga menyampaikan kekhawatiran serupa.
Mereka menekankan bahwa RUU Penyiaran harus melindungi konten kreator digital tanpa membebani dengan regulasi berlebihan.
“Platform digital berkembang pesat. Regulasi harus fleksibel, bukan menghambat inovasi,” kata perwakilan AVISI.
Sementara itu, AJI menegaskan bahwa UU Penyiaran tidak boleh digunakan untuk membatasi pemberitaan kritis.
“Kami menolak segala bentuk kriminalisasi jurnalis dengan dalih pelanggaran penyiaran,” tegas perwakilan AJI.
Arah Revisi RUU Penyiaran: Perlindungan Publik vs Kebebasan Pers
Komisi I DPR RI berjanji akan mempertimbangkan semua masukan sebelum RUU dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja).
Beberapa poin yang akan menjadi fokus:
- Menghindari tumpang tindih regulasi antara UU Penyiaran dan UU Pers.
- Memastikan perlindungan kebebasan pers sambil menjaga etika jurnalistik.
- Mengakomodir perkembangan teknologi tanpa over-regulasi.
Akankah RUU Penyiaran Jadi Ancaman Atau Solusi?
Pertemuan ini menjadi babak awal perdebatan panjang tentang masa depan regulasi media di Indonesia.
Di satu sisi, pemerintah ingin melindungi publik dari konten berbahaya, di sisi lain, jurnalis dan kreator khawatir RUU ini akan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
“Kami akan terus memantau proses revisi ini. PWI siap kembali memberikan masukan jika diperlukan,” ucap Ketua Umum PWI Pusat Zulmansyah Sekedang mengingatkan.
Sementara itu, Komisi I DPR RI memastikan akan membuka ruang dialog lanjutan sebelum RUU disahkan. “Kami ingin hasil akhirnya adil bagi semua pihak,” pungkas Dave Laksono.**
(NK)