Dia juga sangat sependapat dengan pernyataan dr Sarmedi Purba, dari sejarahnya, atau sejak zaman kerajaan di Simalungun, yang namnya adat dan budaya langsung diatur oleh Raja. Sedangkan untuk yang memenej pemerintahan dan kewilayahan, langsung dipimpin oleh ‘Partuanon’ atau tuan. Sedangkan yang namanya tuan pada masa itu merupakan darah biru atau turunan ningrat atau kerabat dekat dari Raja.
Dalam sejarahnya, pada zaman itu yang namanya lahan atau tanah menjadi mutlak dikuasai atau dimilki oleh Raja. Sedangkan pihak lain hanya diberikan hak untuk mengusahai, dan tidak dikenal yang namanya tanah adat.
Namun diakui, pada masa kerajaan itu banyak pendatang yang merantau datang ke Simalungun. Setelah berumah tangga dengan etnis atau suku Simalungun, kemudian mereka mendapatkan hak dari pihak kerajaan untuk mengelola lahan, hingga berlanjut dari generasi ke generasi sampai sekarang, namun bukan berarti tanah yang diusahai itu dapat berubah status menjadi tanah adat.

Bahkan, sambung Rikkot Damanik, mengutip keterangan pengacara Laurensius Sidauruk., SH, ketika tahun lalu ada sekelompok mengaku perwakilan marga Ambarita mencoba mengajukan permohonan agar Badan Pertanahan Nasional (BPN) Simalungun menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang luasnya sekitar 1.800 hektar di Sihaporas, ini tidak dipenuhi pihak BPN.
(Surya Damanik)