Institut Leimena berbagi Pengalaman Kolaborasi Lintas Agama di Forum Internasional yang telah berlangsung sejak 2010 ini menjadi ruang diskusi informal antara organisasi masyarakat sipil, individu, dan pejabat.
Indonesia jurnalis – Institut Leimena (IL) berkesempatan menjadi narasumber dalam dua forum bergengsi bertaraf internasional di Amerika Serikat, membagikan pengalaman Indonesia dalam membangun kerja sama lintas agama melalui program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB). Direktur Eksekutif IL, Matius Ho, tampil sebagai pembicara utama pada 3 Februari 2025 dalam dua acara utama: Special International Religious Freedom (IRF) Roundtable di Cannon House Office Building, Capitol Hill, serta Global Faith Forum di Washington Hilton.
Forum IRF yang telah berlangsung sejak 2010 ini menjadi ruang diskusi informal antara organisasi masyarakat sipil, individu, dan pejabat lintas keyakinan yang peduli terhadap isu kebebasan beragama global. Sementara itu, Global Faith Forum (GFF) yang digagas oleh Multi-Faith Neighbors Network (MFNN), menitikberatkan pada penguatan relasi lintas iman melalui aksi nyata di tengah tantangan dunia yang penuh polarisasi.
“Partisipasi Institut Leimena di kedua forum ini menjadi bukti nyata kontribusi Indonesia dalam membangun pemahaman dan kerja sama lintas agama melalui pendekatan yang kolaboratif,” ujar Matius Ho kepada IL News.
Forum IRF yang berlangsung di Cannon Caucus Room—bagian dari gedung legislatif ikonik AS—menghadirkan sekitar 200 peserta luring dan 55 peserta daring. Acara ini dihadiri berbagai pihak termasuk pejabat dari Kantor Kebebasan Beragama Internasional Departemen Luar Negeri AS, Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), serta delegasi masyarakat sipil dari berbagai negara.
Sementara GFF mengangkat moto Transformation Begins with Relationships sebagai wujud komitmen untuk menumbuhkan rasa saling percaya antar pemimpin agama melalui dialog yang tulus dan partisipasi aktif masyarakat.
Dalam presentasinya, Matius menekankan bahwa program LKLB merupakan praktik nyata yang menunjukkan bagaimana institusi pendidikan dan keagamaan dari berbagai latar belakang di Indonesia dapat bersatu dalam memperkuat toleransi dan kolaborasi.
“Program ini dirancang untuk menumbuhkan kepercayaan dengan mengatasi prasangka dan stereotip negatif terhadap pihak yang berbeda agama. Hal ini penting karena prasangka adalah benih konflik sosial,” jelasnya.
Matius juga menggarisbawahi bahwa LKLB tidak hanya terbatas pada dialog antaragama konvensional yang berhenti pada pengenalan, tetapi mendorong pemahaman yang diterjemahkan ke dalam empati dan solidaritas. Ia merujuk pada teori modal sosial dari profesor Harvard, Robert Putnam, yang menekankan pentingnya *bridging social capital menghubungkan individu dari latar belakang berbeda—dibandingkan bonding social capital* yang cenderung eksklusif.
Para pendidik yang mengikuti pelatihan LKLB dibekali dengan tiga kompetensi utama: personal, komparatif, dan kolaboratif. Sejak diluncurkan pada Oktober 2021 di masa pandemi COVID-19, lebih dari 9.000 guru dari berbagai agama dan wilayah telah mengikuti program ini.
“Menariknya, program ini juga diikuti oleh guru mata pelajaran umum seperti Matematika dan Kimia. Salah satu guru Matematika bahkan memanfaatkan data statistik untuk mendorong diskusi kelas tentang toleransi beragama,” tambah Matius.
Cerita Inspiratif dari Indonesia