Perubahan Diperlukan Untuk Mematahkan Tirani Oligarki

IMG 20220629 WA0013 1
PALEMBANG – Perubahan diperlukan untuk mematahkan tirani oligarki yang menyandera dan menguasai kekuasaan, demikian ungkap Syahganda.

 

Direktur Institut Kajian Masyarakat Lingkar Sabang Marauke, Syahganda Nainggolan menegaskan, perubahan sangat dibutuhkan untuk menghancurkan tirani oligarki yang menyandera dan menguasai kekuasaan.

 

Demikian kata Syahganda saat menjadi nara sumber pada acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Simpul Jaringan Masyarakat (Sijarum Institute) pada Selasa (28/06/2022) di Hotel 101 Palembang.

Perubahan Diperlukan Untuk Mematahkan Tirani Oligarki
(Photo ) Syahganda Nainggolan bersama AA LaNyalla Ketua DPD RI, Perubahan Diperlukan Untuk Mematahkan Tirani Oligarki

Syahganda bersyukur masih ada lembaga negara seperti DPD RI yang terus berjuang untuk rakyat. Karena setelah kemerdekaan Indonesia, masalah yang sama ternyata masih ada seperti pada masa penjajahan Belanda.

 

Pada tahun 1930, ketika diadili di pengadilan kolonialisme Belanda, Soekarno bertanya-tanya mengapa negaranya tidak merasakan kebebasan yang dirasakan oleh Belanda. Bukankah seharusnya Indonesia juga mendapat manfaat dari kekayaannya sendiri yang dihasilkan oleh Ibu Pertiwi?

 

“Soekarno juga mengatakan mengapa Anda menetapkan peraturan bagi buruh tani kita yang upahnya rendah,” kata Syahganda.

Apa yang terjadi sebelum Indonesia merdeka ternyata bisa dirasakan kembali saat ini.

 

“93 tahun kemudian, setelah Bung Karno menggugat ini di pengadilan Belanda di Bandung, itu terjadi lagi. Kami tidak memiliki demokrasi, tidak ada kemakmuran bagi rakyat. Kita masih berada dalam situasi kolonialisme. Kita diadu satu sama lain,” kata Syahganda.

Saat ini, tidak ada perubahan signifikan seperti yang dialami Bung Karno di masa lalu.

 

“Penguasa dalam konteks feodalisme hanya memikirkan lingkaran dan keluarganya. Ini masalah struktural. Maka diperlukan perubahan untuk menghancurkan tirani oligarki yang menguasai pemerintahan kolonial saat ini. Inilah yang disebut postkolonialisme. Pemukim selalu menstigma orang bodoh dan akan tetap berkuasa,” jelas Syahganda.

Baginya, inilah masalah Indonesia pasca reformasi. Ada masalah kemiskinan struktural. Misalnya, di Pelembang, di kota makmur ini, kemiskinan hanya turun 0,19% dari 12,98%. Apa yang harus dibanggakan. Negara ini melanggengkan kemiskinan rakyatnya,” kata Syahganda.

Karena itu, Syahganda berpendapat bahwa perubahan harus segera dilakukan. Kita harus kembali ke demokrasi Pancasila. “Jadi harus ada poros. Kami akan pindahkan poros ke daerah-daerah terpencil,” kata Syahganda.

Narasumber lainnya, Direktur Pusat Kajian Potensi dan Pengembangan Daerah, Solehun, mengatakan masalah di Indonesia saat ini adalah kemiskinan. Hal ini juga terdengar oleh masyarakat Sumatera bagian selatan.

 

“Angka kemiskinan di Sumsel lebih tinggi dari nasional. Sehingga, daerah yang memiliki potensi tinggi tidak selalu sejalan dengan kesejahteraan penduduknya,” kata Solehun.

 

Team Redaksi

20240130 191431 0000

Indonesia Jurnalis.com website Portal Berita Online Nasional Independen Terpercaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *